Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS

Pesisir Barat Aceh, circa akhir abad XIX Dusun Jeuram yang terletak dipinggir sungai Krueng Seunagan, di daerah Meulaboh telah sunyi keadaannya. Matahari telah tenggelam di lautan Hindia yang lebar itu, cahaya yang silau, menyilaukan mata berpendar di muka air biru yang maha luas itu. Aku sedang menatap kosong aliran sungai ketika tiba-tiba orang dibelakang menegur riang. “ Ambo  melihat tuan sedang bersedih, apakah gerangan?” Aku melihat kebelakang. Anak muda itu begitu percaya diri, kurang ajar. “Darimana kau menilai?” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS

Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tenaga untuk mengangkat tangan pun tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama aku pingsan,” pikirnya sambil mengerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum sadar bahwa sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya. Bunyi meriam masih bertaut dari kejauhan, entah dari Peunayong atau istana. Perang masih berlanjut, tapi pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu, Benteng Lhambhuek telah jatuh, oleh pengkhianatan Ali Bahanan, atau siapapun itu. Hanya dalam setengah hari, seluruh harapan yang pernah ia miliki lebur. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS

Penolakan Turki menimbulkan pilu dalam hati rakyat Aceh. Turki dipandang sebagai jago negeri-negeri Islam. Mereka menolak membantu, mereka mungkin mau, tapi tak mampu. Belanda melalui siaran propaganda mengambarkan Turki seperti ayan jantan dengan memakai terbus, berlumur darah dan lari dengan bendera bulan sabit dengan bintang di tengah-tengah pada kakinya. Ini adalah penghinaan. Tapi apa sebab Allah membiarkan kerajaaan Islam terus menerus diperlemah oleh bangsa kulit putih? Apakah itu takdir Allah atau cobaan bagi umat Islam. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS

ni adalah suatu masa di mana Aceh memiliki penduduk yang kebanyakan namun dikelola oleh mereka yang memiliki pengetahuan yang baik, pemerintahan berdasarkan klaim sejarah yang benar dan bukan propaganda belaka. Saat-saat itu sudah tidak ada lagi sekarang. Untuk mengenang sekaligus bernostagia baiknya kita menyimak cerita ini. Menjelang akhir abad ke-19, Aceh merupakan pengecualian dari semua daerah yang pernah diperangi oleh Belanda di Nusantara. Aceh bisa bertahan cukup makmur tanpa Belanda turun tangan. Aceh memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional dan pada tahun 1873 paling tidak terdapat seorang pemimpin dengan kecerdasan pengetahuan dunia yang unggul, yaitu Perdana Menteri Habib Abdurrahman Zahir. Cerita selengkapnya