Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS

Saat-saat yang dinanti tibalah. Belanda mendaratkan pasukannya dan terus menyerbu Meuraksa dengan lindungan meriamnya. Maka terjadilah perang laut yang seru dan saling tembak-menembak. Pasukan Aceh memberikan perlawanan yang gigih dengan membendung arus penyebrangan tentara Belanda. Tentara Belanda terus maju menerobos pertahanan Aceh dengan alatnya yang lengkap dan serba modern. Dalam terobosan-terobosan ini terjadilah perang tanding, seorang melawan seorang dimana prajurit Aceh maju dengan kelewang yang sukar bagi Belanda menghadapinya dalam jarak dekat. Namun dengan keunggulan persenjataan dan keahlian pasukan Belanda terus maju. Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Panglima tertinggi militer ekspedisi terhadap Aceh berkacak pinggang dengan geram, sebagai komandan teritorial Sumatera Barat ia belum pernah mengalami pertempuran gila seperti ini, ia memanggil komandan kedua, Kolonel E.C van Daalen dan berkata, “seharusnya pendaratan pasukan yang begitu besar di Nusantara seperti yang kita

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS

Ia tumbuh layaknya bangsawan muda pada zaman itu. Pada usia tiga belas, untuk pertama kalinya ia turut berburu rusa sebagai penunggang kuda. Ayahnya, memberikan seekor kuda yang jinak, selalu di dekatnya. Segera menjadi nyata bahwa T. Nek tidak banyak memerlukan pengawasan, dan dalam waktu setahun ia menonjol di antara anak-anak sebayanya karena sifatnya yang nekat dan sanggup cepat mengambil keputusan dalam hal-hal kejantanan. Ia adalah seorang uleebalang di wilayah Meuraksa yang penguasai pantai Ceureuman, Ulee Lheu. Namun, belakangan ini  ia merasa sakit hati, ketika Sultan memberikan wilayah kehulubalangan kepada Tuanku Nanta di Lampadang atas jasanya terhadap jasanya terdahulu kepada Sultan. Padahal awalnya, wilayah tersebut adalah miliknya. Akibatnya, wilayahnya semakin mengecil dan hanya kebagian wilayah di Ulee Lheue, Pekan Bada, Blang Oi dan sekitarnya. Ia merasa marah. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS

“… kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagaimana juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa…” Surat penolakan  pernyataan perang dari Sultan Alaidin Mahmud Syah bertanggal 1 April 1873. Sejak ia dimahkotai tahun 1870 hubungan Aceh Darussalam dengan Belanda semakin tegang, Belanda secara  massive  mengadakan tekanan agar Aceh tunduk. Kapal-kapal Belanda meneror perairan Selat Malaka, menaklukkan Riau dan mengancam langsung. Akan tetapi, Aceh membalas melakukan perampokan terhadap kapal dagang Belanda yang lalu lalang. Suasana kian meruncing sehingga Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal Citadel van Antwerpen pada tanggal 26 Maret 1873 memaklumatkan perang kepada Kesultanan Aceh Darussalam, surat yang dibuka; “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan perang kepada Sultan Aceh…” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH

Perang adalah sebuah tema lama, tentu. Variasi berbeda setiap zaman. Dan bila ia seperti selalu berulang mungkin karena manusia tak kunjung memahami sifatnya sendiri. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan  Johan Harmen Rudolf Kohler , dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler membawa 3.198 tentara, 168 para perwira. Beberapa hari kemudian, perang berkecambuk di mana-mana, ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampoh U, sampai Lambada, Krueng Aceh. Dipimpin Panglima Polim, Jenderal lapangan dan Sultan Mahmud Syah, Pemimpin komando tertinggi.  Dengan dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ketika bantuan beberapa ribu orang berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan beberapa wilayah lain, merebut sisa puing Masjid Raya Baiturrahman yang telah dibakar Belanda menjadi tujuan marwah para muslimin. Cerita selengkapnya