Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Kisah Letnan H.P. De Bruyn yang tewas di Seunagan (Aceh Barat) tahun 1902

Gambar
kenangan para serdadu Belanda yang tewas tahun 1902 salah satunya Letnan H.P. De Bruijn. Source: https://tengkuputeh.com Seorang letnan yang masih muda remaja dan lajang serta pemberani De Bruijn, saat itu akan menikah di pendopo (dulu), tetapi ia memilih untuk “di-Peucut-kan” daripada menjadi “pengantin”. Bagi Belanda, ia dianggap gagah berani. De Bruyn adalah perwira dengan pangkat letnan satu dari pihak Belanda yang bertugas di Seunangan (Aceh Barat), ia mendapat perintah langsung dari Van Heutsz (Gubernur Belanda di Aceh ketika itu) sendiri. Van Heutsz juga akan mengawinkan De Bruyn dengan seorang gadis anak seorang perwira menengah, perkawinan tersebut akan berlangsung ditempat kediaman Van Heutsz yaitu pendopo gubernur sekarang. Naas bagi De Bruyn karena dia dan sebahagian besar anak buahnya berhasil disapu bersih oleh para pejuang Aceh dari Seunagan dengan suatu “klewangaanval”   yang terkenal itu. De Bruijn menderita terlalu banyak bacokan sehingga ia tak mungkin diraw

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS

Sabtu, 22 Maret 1873. Jauh ditengah-tengah laut yang berpantai ke Bandar Aceh Darussalam, bagaikan ditepi langit, nampaklah oleh penduduk empat kapal api, yang mengambil haluan tepat menuju tanjung tanah Aceh yang disebelah Utara. Bagaikan tabuhan terkejut, lalu terbang berkeliling bercerai-berai meninggalkan sarangnya karena diganggu, penduduk kota berhamburan keluar rumah, lalu lari berduyun-duyun ke tepi laut. Dari beberapa mulut keluarlah teriakan, “Habib datang! Tentara Turki menyertai kita!” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS

Aceh, akhir abad XIX Siapa pun itu berhak menyendiri, tanpa ingin dirisaukan oleh ini dan itu. Seperti siapapun itu berhak untuk takut. Aku sedang tak ingin ditemui siapapun, aku kalah, aku takut menghadapi hari kemarin, sebab masa lampauku bukanlah sebuah panorama damai yang terbentang di belakangku, negeri ini bisa kutempuh bila ku ingin, yang menunjukkan kepadaku, berangsur-angsur, bukit dan lembah-lembahnya yang rahasia. Sewaktu aku bergerak ke depan, masa lampau itu pun runtuh. Sebagian besar reruntuhannya, masih dapat terlihat, tak punya warna, mencong bentuknya, dan beku. Maknanya terlepas dariku. “Dik, bisakah kita bertemu?”  Berkali-kali surat berdatangan dari Tengku Tiro. Ia ingin bertemu, dan tidak suka bertemu dengannya. Aku tidak sreg bertemu dia, karena sebagai seorang fuqaha  dia senang berceramah, dalam pertemuan sebelumnya ia memprotes kegemaranku menghisap tembakau. Aku bukan orang yang memilih hidup suci seperti dia, jalan hidup yang ia pilih begitu keras. Aku t

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS

Pesisir Barat Aceh, circa akhir abad XIX Dusun Jeuram yang terletak dipinggir sungai Krueng Seunagan, di daerah Meulaboh telah sunyi keadaannya. Matahari telah tenggelam di lautan Hindia yang lebar itu, cahaya yang silau, menyilaukan mata berpendar di muka air biru yang maha luas itu. Aku sedang menatap kosong aliran sungai ketika tiba-tiba orang dibelakang menegur riang. “ Ambo  melihat tuan sedang bersedih, apakah gerangan?” Aku melihat kebelakang. Anak muda itu begitu percaya diri, kurang ajar. “Darimana kau menilai?” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS

Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tenaga untuk mengangkat tangan pun tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama aku pingsan,” pikirnya sambil mengerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum sadar bahwa sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya. Bunyi meriam masih bertaut dari kejauhan, entah dari Peunayong atau istana. Perang masih berlanjut, tapi pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu, Benteng Lhambhuek telah jatuh, oleh pengkhianatan Ali Bahanan, atau siapapun itu. Hanya dalam setengah hari, seluruh harapan yang pernah ia miliki lebur. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS

Penolakan Turki menimbulkan pilu dalam hati rakyat Aceh. Turki dipandang sebagai jago negeri-negeri Islam. Mereka menolak membantu, mereka mungkin mau, tapi tak mampu. Belanda melalui siaran propaganda mengambarkan Turki seperti ayan jantan dengan memakai terbus, berlumur darah dan lari dengan bendera bulan sabit dengan bintang di tengah-tengah pada kakinya. Ini adalah penghinaan. Tapi apa sebab Allah membiarkan kerajaaan Islam terus menerus diperlemah oleh bangsa kulit putih? Apakah itu takdir Allah atau cobaan bagi umat Islam. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS

ni adalah suatu masa di mana Aceh memiliki penduduk yang kebanyakan namun dikelola oleh mereka yang memiliki pengetahuan yang baik, pemerintahan berdasarkan klaim sejarah yang benar dan bukan propaganda belaka. Saat-saat itu sudah tidak ada lagi sekarang. Untuk mengenang sekaligus bernostagia baiknya kita menyimak cerita ini. Menjelang akhir abad ke-19, Aceh merupakan pengecualian dari semua daerah yang pernah diperangi oleh Belanda di Nusantara. Aceh bisa bertahan cukup makmur tanpa Belanda turun tangan. Aceh memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional dan pada tahun 1873 paling tidak terdapat seorang pemimpin dengan kecerdasan pengetahuan dunia yang unggul, yaitu Perdana Menteri Habib Abdurrahman Zahir. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS

Saat-saat yang dinanti tibalah. Belanda mendaratkan pasukannya dan terus menyerbu Meuraksa dengan lindungan meriamnya. Maka terjadilah perang laut yang seru dan saling tembak-menembak. Pasukan Aceh memberikan perlawanan yang gigih dengan membendung arus penyebrangan tentara Belanda. Tentara Belanda terus maju menerobos pertahanan Aceh dengan alatnya yang lengkap dan serba modern. Dalam terobosan-terobosan ini terjadilah perang tanding, seorang melawan seorang dimana prajurit Aceh maju dengan kelewang yang sukar bagi Belanda menghadapinya dalam jarak dekat. Namun dengan keunggulan persenjataan dan keahlian pasukan Belanda terus maju. Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Panglima tertinggi militer ekspedisi terhadap Aceh berkacak pinggang dengan geram, sebagai komandan teritorial Sumatera Barat ia belum pernah mengalami pertempuran gila seperti ini, ia memanggil komandan kedua, Kolonel E.C van Daalen dan berkata, “seharusnya pendaratan pasukan yang begitu besar di Nusantara seperti yang kita

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS

Ia tumbuh layaknya bangsawan muda pada zaman itu. Pada usia tiga belas, untuk pertama kalinya ia turut berburu rusa sebagai penunggang kuda. Ayahnya, memberikan seekor kuda yang jinak, selalu di dekatnya. Segera menjadi nyata bahwa T. Nek tidak banyak memerlukan pengawasan, dan dalam waktu setahun ia menonjol di antara anak-anak sebayanya karena sifatnya yang nekat dan sanggup cepat mengambil keputusan dalam hal-hal kejantanan. Ia adalah seorang uleebalang di wilayah Meuraksa yang penguasai pantai Ceureuman, Ulee Lheu. Namun, belakangan ini  ia merasa sakit hati, ketika Sultan memberikan wilayah kehulubalangan kepada Tuanku Nanta di Lampadang atas jasanya terhadap jasanya terdahulu kepada Sultan. Padahal awalnya, wilayah tersebut adalah miliknya. Akibatnya, wilayahnya semakin mengecil dan hanya kebagian wilayah di Ulee Lheue, Pekan Bada, Blang Oi dan sekitarnya. Ia merasa marah. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS

“… kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagaimana juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa…” Surat penolakan  pernyataan perang dari Sultan Alaidin Mahmud Syah bertanggal 1 April 1873. Sejak ia dimahkotai tahun 1870 hubungan Aceh Darussalam dengan Belanda semakin tegang, Belanda secara  massive  mengadakan tekanan agar Aceh tunduk. Kapal-kapal Belanda meneror perairan Selat Malaka, menaklukkan Riau dan mengancam langsung. Akan tetapi, Aceh membalas melakukan perampokan terhadap kapal dagang Belanda yang lalu lalang. Suasana kian meruncing sehingga Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal Citadel van Antwerpen pada tanggal 26 Maret 1873 memaklumatkan perang kepada Kesultanan Aceh Darussalam, surat yang dibuka; “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan perang kepada Sultan Aceh…” Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH

Perang adalah sebuah tema lama, tentu. Variasi berbeda setiap zaman. Dan bila ia seperti selalu berulang mungkin karena manusia tak kunjung memahami sifatnya sendiri. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan  Johan Harmen Rudolf Kohler , dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler membawa 3.198 tentara, 168 para perwira. Beberapa hari kemudian, perang berkecambuk di mana-mana, ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampoh U, sampai Lambada, Krueng Aceh. Dipimpin Panglima Polim, Jenderal lapangan dan Sultan Mahmud Syah, Pemimpin komando tertinggi.  Dengan dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ketika bantuan beberapa ribu orang berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan beberapa wilayah lain, merebut sisa puing Masjid Raya Baiturrahman yang telah dibakar Belanda menjadi tujuan marwah para muslimin. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN

Sejarah itu lebih banyak ditentukan oleh sebagian besar orang kecil dan sedikit oleh orang besar. Kebanyakan orang besar memiliki ide yang besar sehingga melupakan bahwa sesuatu hal yang sederhana mampu mengubah dunia. Betapa indahnya apabila didunia yang tidak aman ini. Ada seorang pemuda yang hanya menatap keatas langit, dengan kaki menjejak bumi. Sayangnya itu bukan aku. Tubuhku sudah menua, sejujurnya aku merasa apakah diriku berada disini. Bertahun pengembaraan sebagai lanun, penuh petualangan. Dan disini setahun dikampung halaman mendapati diri tak berarti. Terlempar dari pusaran sejarah, terjebak rutinitas di pasar hingga pulang ke rumah ketika petang. Amboy malangnya nasibmu Tuan Durjana. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN

“Apa kamu syaitan?” Tanya seorang diantara mereka antara takut dan penasaran. Dimana ini? Kugosok-gosokkan mata lalu memandang sekeliling. Orang-orang menggerubutiku. Penampilan mereka aneh, seperti orang dari dusun yang sangat pelosok. Muka mereka hitam semua, seperti tidak pernah mandi menggunakan sabun, kaki mereka tidak menggunakan sandal. Tatapan mereka penuh selidik sama sepertiku, sepertinya aku juga dipandang aneh oleh mereka. Aku menggeleng, menelan ludah. Pertanyaan apa ini? Benar-benar pertanyaan yang mengecewakan buatku yang sedang kebingungan, betapa dunia yang kacau namun setidaknya kami berbicara dalam bahasa yang sama. Aku gamang. Gerombolan ini pun riuh, tempat macam apa ini ketika aku mendengar usul salah satu diantara mereka untuk membunuhku, dan usul lain untuk membuiku. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH

Bandar Aceh Darussalam, Pebruari 1873 Seorang pahlawan tidak langsung dilahirkan dimuka bumi. Seorang pahlawan dibentuk oleh alam, karena seseorang dapat dikatakan sebagai pahlawan jika ia melebihi dirinya. Memberikan manfaat yang secara alur pikiran awam tak dapat ia lakukan. Pada saat itulah seseorang membuktikan kapasitasnya sebagai seorang pahlawan. Terus terang aku mengagumi anak muda ini, sekaligus membencinya. Umar anak Meulaboh, sudah beberapa minggu belakangan ini ia ada di Bandar Aceh Darussalam. Pergerakannya sangat cepat, baru sesaat dipelabuhan sekejap berikutnya ia membuat keributan di  Peukan Aceh . Satu hal yang luar biasa dari anak berumur sembilan belas tahun ini, ia selalu mampu mempengaruhi orang yang lebih tua tunduk pada pengaruhnya. Satu sisi jelek dari anak muda ini yang paling tidak kusukai adalah gayanya yang sangat feodal dan gemar berbelanja. Keonaran adalah cara untuk menunjukan siapa dirinya, cucu Raja Meulaboh. Belum lagi kegemarannya menghisap candu

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM

ampisang Aceh Besar, Januari 1873 Kelemahan adalah kekuatan, begitupun sebaliknya kekuatan menjelma menjadi kelemahan. Aku menyeret langkahku enggan pelan menuju rumah Aceh itu. Pihak yang mengundang, pemilik rumah. Tuanku Nanta Setia, putra Datuk Makdum Sati. Keturunan wali negeri Minangkabau ketika masih dalam perlindungan Kesultanan Aceh. Adalah cerita lama sebelum Plakat Panjang terjadi. Keturunan  Front liner  yang berdarah campur dan masih kerabat dekat kesultanan. Entah mengapa, aku kehilangan semangat untuk menghadiri. Mungkin aku sudah tua,dan dihinggap penyakit orang tua yang benama kemalasan. Nyamuk Januari sangat mengesalkan berdengung ditelingaku sedari tadi. Aku tiba juga akhirnya. Terlambat, pertemuan sudah dimulai. Belasan kuda memamah biak terlantar disekeliling rumah. “Tuan terlambat rupanya?” Dibawah rumah gelap terdengar suara. Aku mendekat dan melihat seorang duduk diatas alu penumbuk padi yang lazim ada dibawah kolong rumah panggung. “Sudah dimulai rupanya?

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA

Pantai Cermin, Bandar Aceh Darussalam. Desember 1872. Akhirnya lima utusan Sultan telah berlayar menuju Melayu Sumatra, Belanda menamakan kawasan itu Riau. Sebagai pembeda dengan Melayu semenanjung yang dikuasai Inggris. Tibang Muhammad yang memimpin delegasi membawa syarat yang sulit dipenuhi oleh Belanda yang intinya Kesultanan Aceh Darussalam sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan Belanda asalkan wilayah yang pernah menjadi bagian Kerajaan Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur. Perang bukan menjadi kekhawatiran di Kesultanan disini. Para pencinta perang senang mengasah parang, kenangan mengusir Portugis di abad XVI seolah menyakinkan bahwa tanah ini akan selamanya merdeka dari tangan-tangan kaum putih. Berapa kalikah aku mengatakan bahwa ini adakah pandangan yang naïf. Suara sumbang yang kusuarakan menjadikanku orang asing di negeri sendiri. Segenap pengalaman dan ilmu yang kumiliki yang

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT

Akhirnya aku sadar akan perasaan ini, akhirnya aku mengalaminya. Ternyata  sang Durjana  pun akhirnya menetapkan pikiran. Selama ini aku ragu akan menghadapi hari ini. Padahal tak pernah sekalipun kuragu terhadap apapun kecuali tentang hal ini. Luasnya samudera tak pernah membuka mataku, jauhnya jarak kulalui tak pernah membuatku tersadarkan akan sesuatu hal yang penting ini. Akhirnya aku paham perasaan ayahku, pada saat pertama kali bertemu dengan ibuku. Tiada beda perasaan seorang petani dengan seorang lanun. Menghadapi hari ini terasa gemetar, antusias dan gugup beraduk dalam perasaan anak manusia. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA

Bandar Aceh Darussalam, Oktober 1872.  Aku bermain-main dengan pikiranku. Inikah yang disebut rumah? Jika engkau sudah mengembara melintasi Malaka, Batavia, Jepun, Liverpool, Venezia bahkan Istanbul selama dua puluh tahun pelayaran. Disusun dari kayu rumbia beratap daun kelapa, masih sama seperti dahulu hanya semakin rapuh. Tidak ini bukan rumah! Ini dinamakan surga, yang menjadi mimpi jiwa yang dahaga untuk berpulang. Tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Daun pintu terbuka mengangga. Siapakah didalam, Masihkah ibu hidup? Aku masuk melintasi waktu seolah hanya pulang setelah bermain sebentar. Diatas anyaman nipah, sesosok tergolek dengan mata terbuka. Ibu? Ibuku masih hidup. Ia terbangun. “Siapa itu?” Matanya sudah biru, termakan oleh usia mencari-cari sumber suara. Beliau buta. Air mataku menetes, tak mampuku menahan isak dan pecahlah ia dalam rasa yang tak kutahu entah bahagia atau sedih. “Ibu! Ibu!” rintihku pelan seraya menjatuhkan diri dikakinya. Cerita selengkapnya

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA

Ulee Lheu. Oktober 1872 , Pantai ini sudah terkena pendangkalan parah. Bintang hitam tak bisa merapat, sebuah sekoci merangkak pelan ke Pantai Cermin. Sang Durjana pulang dari petualangan. Jantungku berdetak kencang, rasa rindu semakin berarti jika sudah di dekat rumah. Akhirnya kumenjejakkan kaki didaratan. Dua puluh tahun, tidak ada perubahan. Beginikah nasib Aceh Darussalam, jalan setapaknya masih sama. Orang-orang lama semakin tua, dan orang-orang baru tak lebih baik. Untuk apa kepulanganku ini? Kadang-kadang kebertanya pada diriku sendiri sehingga benar-benar meyakini bahwa kepulanganku adalah untuk membela bangsaku sendiri. Melayu Sumatera telah takluk baru-baru ini ditangan Belanda, dan diberi nama Keresidenan Riau. Deli sudah lama jatuh. Tiku, Barus dan Pariaman sudah lama hilang dipeta Aceh Darussalam. Diakhir abad XIX diseantero Nusantara hanya Aceh Darussalam dan Tanah Batak yang masih merdeka. Dan kedaulatan keduanya terancam oleh  Traktat Sumatera  sebuah persesengkol

RISALAH SANG DURJANA

Sepuluh tahun sudah kaki ini tak menjejak daratan. Buih-buih lautan telah menawanku sejauh ini bukan karena keterpaksaan namun lebih pada rasa enggan. Racun yang menyelusup ditubuhku mengelanjut manja membunuh segala hasrat untuk berlabuh. Bukannya aku tak rindu dengan lembutnya dataran menghampar, tapi mereka pernah menolakku dengan sengaja. Dalam pelayaranku dua pelabuhan telah menarikku berlabuh. Negeri pertama, tak jauh-jauh dari kampungku. Sebuah pelabuhan digugusan tropis tepat di pusat administrasi Hindia Belanda yang mereka namakan Batavia. Namun syahbandar congkak mengusirku, ia berkata dermaga itu bukan untukku. Kapal dagang Maskapai Belanda telah memborong tempat tersisa dan memaksaku berlayar ke Timur. Sekian tahun berlalu, lima tahun kemudian tepatnya hingga aku tergoda oleh lampu-lampu kota di negeri bersalju. Setelah menembus terusan Panama dan tiba di negeri yang berjuluk Skandinavia. Syahbandar yang telah mengundang Bahtera Bintang Kejora yang kunahkodai berbalik den