RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS

Aceh, akhir abad XIX
Siapa pun itu berhak menyendiri, tanpa ingin dirisaukan oleh ini dan itu. Seperti siapapun itu berhak untuk takut. Aku sedang tak ingin ditemui siapapun, aku kalah, aku takut menghadapi hari kemarin, sebab masa lampauku bukanlah sebuah panorama damai yang terbentang di belakangku, negeri ini bisa kutempuh bila ku ingin, yang menunjukkan kepadaku, berangsur-angsur, bukit dan lembah-lembahnya yang rahasia. Sewaktu aku bergerak ke depan, masa lampau itu pun runtuh. Sebagian besar reruntuhannya, masih dapat terlihat, tak punya warna, mencong bentuknya, dan beku. Maknanya terlepas dariku.
“Dik, bisakah kita bertemu?” Berkali-kali surat berdatangan dari Tengku Tiro. Ia ingin bertemu, dan tidak suka bertemu dengannya. Aku tidak sreg bertemu dia, karena sebagai seorangfuqaha dia senang berceramah, dalam pertemuan sebelumnya ia memprotes kegemaranku menghisap tembakau. Aku bukan orang yang memilih hidup suci seperti dia, jalan hidup yang ia pilih begitu keras. Aku tak sanggup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Letnan H.P. De Bruyn yang tewas di Seunagan (Aceh Barat) tahun 1902

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS